Ekonomi Jepang Sempat Mandek Selama 30 Tahun

Ekonomi Jepang Sempat Mandek Selama 30 Tahun

Posted on
Ekonomi Jepang Sempat Mandek Selama 30 Tahun

Selamat Datang di NinoPedia.com – Ekonomi Jepang Sempat Mandek Selama 30 Tahun – Pertama saya ingin bertanya apa yang Anda bayangkan ketika mendengar tentang ekonomi Jepang, ekonomi kuat, negara kaya, kemiskinan rendah, kekayaan tinggi, teknologi maju, warga negara yang sangat disiplin atau berkelanjutan memiliki pekerjaan. 

Ekonomi Jepang Sempat Mandek Selama 30 Tahun

semua itu tidak salah, tetapi tahukah Anda bahwa ekonomi Jepang tidak lagi baik-baik saja? Bahkan ada ekonom yang menganggap ekonomi Jepang sudah di ambang kehancuran, bukan? Bukankah Jepang negara maju?

Perekonomian Jepang memang sedang booming, tapi itulah cerita 30-40 tahun yang lalu ketika Jepang berkembang pesat di era 70-90 tahun. 

dan Namun tidak banyak orang yang mengetahui bahwa sejak tahun 1990-an hingga sekarang, perekonomian Jepang diarahkan bahkan merosot secara perlahan.

Dan semakin parah setelah pandemi Covid-19. Jadi kemajuan Jepang yang Anda lihat saat ini bisa disebut sebagai sisa-sisa togel atau sisa-sisa kekayaan tahun 80-an yang masih bisa dirasakan hingga saat ini. 

Namun di balik semua kosmetik manis itu terdapat pengangguran yang sangat besar, tekanan yang mengerikan pada jam kerja, konsumsi yang sangat rendah, dan penurunan produktivitas yang mengkhawatirkan pada generasi usia produktif.

Lalu ada juga kekalahan besar di industri dibandingkan dengan Korea dan China, yang mungkin tidak satupun dari mereka tidak menyadarinya ketika melihat keindahan dunia Jepang melalui budaya popnya seperti dorama anime mangga atau pariwisata di kota yang sangat indah. 

Tentu saja, data ekonomi tidak berbohong dan semua ini mulai muncul di berbagai industri dan dalam kehidupan sosial masyarakat Jepang. 

Bagaimana kronologis permasalahan ekonomi Jepang?

Wow, bagaimana kronologis permasalahan ekonomi Jepang, padahal Jepang pernah dianggap sebagai kekuatan ekonomi terbesar di Asia 30-40 tahun lalu bahkan sempat menyaingi Amerika dan negara-negara blok barat.

ke titik di mana itu disebut keajaiban ekonomi Jepang. Namun semua kemajuan ekonomi ini tiba-tiba terhenti dan menjadi semakin memprihatinkan di tahun 90-an, sampai-sampai setelah tahun 90-an hingga saat ini, ekonomi Jepang dicap sebagai dewa kecil atau dekade yang hilang. 

Apa alasannya?

Langsung saja kita mulai pembahasannya, mari kita mulai cerita panjang lebar di akhir Perang Dunia II. Setelah kedua kota tersebut terkena bom atom, Jepang resmi menyerah dan banyak pabrik industri hancur karena perang. kebutuhan logistik perang prajurit.

Ada juga banyak migran yang kembali yang telah menjadi mubazir dan akhirnya menjadi pengangguran. Ekonomi kacau seperti itu memaksa Jepang untuk melakukan apa pun untuk bertahan hidup. 

Mereka dengan antusias bekerja untuk membangun kembali sektor pertanian dan juga industri dengan bantuan pasca perang dari Amerika. 

Perang Korea yang terjadi pada tahun 1951 dimanfaatkan dengan Jepang sebagai objek dengan menjual barang-barang logistik kepada pasukan Amerika yang berperang di semenanjung Korea, dan menjadi katalisator kebangkitan kembali produktivitas industri Jepang. 

Ini juga merupakan dinamika bagi banyak industri yang kami kenal saat itu, seperti Toyota, Honda, Yamaha, Seiko, dan lainnya. 

Perkembangan industri Jepang disertai dengan peningkatan konsumsi masyarakat, dan pada hari itu, pertumbuhan ekonomi Jepang mulai berjaya pada tahun 1960-an, menjadi satu-satunya negara di Asia yang berstatus negara maju. 

Kembali pada 1950-an dan 90-an, Jepang, yang awalnya dilanda kemiskinan di ambang kelaparan dan tampaknya tidak memiliki masa depan apa pun, terbukti berhasil, menjadikannya kekuatan ekonomi terbesar di Asia dalam waktu yang relatif singkat.

Keajaiban ekonomi Jepang

Disinilah istilah Jepang LED, Michael’s Economy, atau keajaiban ekonomi Jepang muncul seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi pada tahun 70-80an. 

Banyak sekali perusahaan Jepang yang memulai masa keemasannya saat ini, seperti Hitachi Toey, Sega Sonic Bandai, dan masih banyak lagi. 

Kemakmuran ini berlangsung hingga tahun 1980-an ketika produk-produk buatan Jepang seperti mobil dan barang elektronik membanjiri pasar dunia, termasuk Amerika. 

Harga yang murah dan kualitas yang bersaing membuat produk Jepang berhasil menyingkirkan para pesaing produk lokal di Amerika.

Tapi semua kemakmuran ini akhirnya bertemu dengan apa yang lama ternyata menjadi tantangan bagi ekonomi Jepang, banyaknya produk Jepang yang mengajarkan pasar Amerika dan juga penetapan harga ini tentu saja mengancam ekonomi pengusaha Amerika. P

ada saat inilah para pengusaha ini akhirnya mempengaruhi Kongres, yang memiliki kebijakan untuk melindungi produk asli.

Mungkin bagi anda yang masih ingat tahun 2018, banyak sekali isu seputar perang dagang antara China dan Amerika, sekarang di tahun 80-an situasinya agak mirip. 

Banyak yang mengkhawatirkan perang dagang antara dua negara maju, yakni Jepang dan Amerika. Namun pada akhirnya, pada tahun 1985, Amerika membuat kesepakatan dengan negara-negara G5, yang kemudian dianggap sebagai lima kekuatan ekonomi terbesar, yaitu Amerika, Inggris Raya, Jerman Barat, Prancis, dan tentu saja Jepang.

Isi perjanjian itu adalah devaluasi dolar AS terhadap mata uang empat anggota lainnya, termasuk Jepang. Perjanjian ini disebut Plaza Chord. 

Apa arti depresiasi ini bagi Jepang? 

Apa artinya valuasi semakin kuat terhadap dolar? Ya, itu benar sekali. Nah, kalau itu berarti Jepang, ada baiknya nilai mata uangnya meningkat sehingga mereka bisa membeli barang-barang Amerika dengan murah. 

Dari sisi konsumen menurut saya bagus, tapi perlu diingat bahwa Jepang adalah negara manufaktur atau negara manufaktur. 

Faktanya, nilai mata uang yang dikandungnya adalah berita buruk karena barang-barang Jepang tidak bisa lagi dijual murah.

Jika biaya produksi tetap sama di Amerika, tetapi daya beli konsumen Amerika tidak lagi sekuat dulu.

Apa artinya keunggulan harga produk Jepang tidak bisa lagi ditanggulangi karena depresiasi mata uang ini, produk buatan Jepang jauh lebih mahal di pasar internasional. 

Oleh karena itu, lebih sulit untuk bersaing di pasar dunia. Jepang tidak ingin mengambil risiko perang dagang dengan Amerika. 

sebagian yang lain juga berpendapat bahwa Jepang bertujuan untuk mendapatkan makanan pokok yang lebih murah, ada pula yang berpendapat bahwa Jepang ingin mengefektifkan rantai pasokan produksinya.

Sejak saat itu, mereka mengimpor bahan mentah dan mengekspor barang jadi, yang membutuhkan waktu dan biaya pengiriman yang cukup besar. 

Kini mereka bisa berinvestasi langsung di negara lain untuk menghemat waktu dan biaya produksi, apapun motifnya. 

Jepang menangguhkan persetujuan perjanjian dalam waktu kurang dari setahun, dengan nilai tukar naik dari 250 yen untuk 1 USD menjadi 150 yen per dolar. 

Nilai ekspor mereka turun drastis

Akibatnya, nilai ekspor mereka turun drastis, tentu membuat iklim ekonomi Jepang lesu karena perekonomian mereka ditopang oleh komponen ekspor untuk membangun kembali roda perekonomian negara.

Tentu saja Bank Sentral Jepang Anda bertindak dengan menurunkan suku bunga acuan, jadi hanya dua setengah persen pada tahun 1987 dengan menurunkan suku bunga rakyat Jepang, didorong untuk aktif mengkonsumsi barang-barang produksi dalam negeri karena percuma kalau masih mau menabung, bunganya akan sangat kecil. 

Namun di sinilah muncul masalah baru, tingkat suku bunga yang rendah membuat masyarakat dan institusi akhirnya berani meminjam uang dari bank dan mereka menggunakan uang dari bank tidak hanya untuk konsumsi, tetapi juga untuk berinvestasi di pasar modal. dan properti.

Investor yang masuk ke pasar saham dan real estat

karena semakin banyak investor yang masuk ke pasar saham dan real estat, akibatnya harga saham dan real estat naik, harga saham dan real estat naik jauh di atas nilai wajarnya, bahkan ada koreksi besar-besaran dan itu benar, karena bank sentral menaikkan harga lagi. 

Suku Bunga di Level 6 Game Kembali ke tahun 90-an, masyarakat dan institusi mulai bingung bagaimana cara mengembalikan bunga bank. 

karena suku bunga bank tidak semurah sebelumnya, Blade 91 akhirnya ditangkap, kebanyakan orang menjual atap saham mereka, masalahnya adalah keuntungan investasi mereka tidak lagi dapat menutupi semua biaya bunga atas uang pinjaman mereka.

Akibatnya, harga saham real estat turun sesaat karena pemerintah mengadopsi kebijakan untuk memperketat pajak dan mengatur pinjaman bank. 

pada akhirnya, harga properti runtuh dalam waktu singkat. Penurunan tersebut juga berimbas pada sektor perbankan, karena banyak pinjaman yang disalurkan oleh perbankan dan dijamin oleh nilai properti seiring dengan turunnya harga.

Pinjaman telah meningkat secara dramatis

Belum lagi fakta bahwa jumlah default pinjaman telah meningkat secara dramatis karena jumlah default pinjaman sedang booming. jumlah kredit macet mencapai 10% dari Jepang. 

Saat itu tentunya bulan efek berantai yang membuat banyak perusahaan bangkrut dan akhirnya meningkatkan angka pengangguran yang tercatat dalam waktu singkat, puluhan ribu perusahaan di Jepang bangkrut. 

Kejadian ini sungguh mengejutkan dan membuat trauma perekonomian Jepang. Karena tidak ada yang menyangka jika mereka mengalami krisis seperti itu.

Sejak itu, orang Jepang dan pebisnis menjadi trauma dan sangat berhati-hati dengan uang mereka. Perusahaan yang selamat dari kebangkrutan juga mengurangi investasinya dan lebih fokus melunasi hutangnya dan cenderung takut berinvestasi. 

Mereka juga menahan diri untuk tidak meminjam uang untuk modal usaha dan lebih memilih untuk menabung. Riset perbankan yang dilakukan oleh Bank of Japan menunjukkan bahwa keamanan merupakan kriteria investasi terpenting bagi orang Jepang pada tahun 1990-an.

Nah, trauma ekonomi itu justru menjerumuskan mereka ke dalam lingkaran kritik, membayangkan orang jadi lebih hemat, pedagang rugi, pengusaha juga takut berinvestasi. 

Atau penelitian Charles Siji Haryo oleh National Bureau of Economic Research menunjukkan bahwa konsumsi swasta dan sektor investasi menurun tajam pada 1990-an dibandingkan dengan 1980-an. dan rata-rata pertumbuhan juga menurun dari 3,8 persen menjadi hanya 1,14 persen.

Keadaan stagnasi yang berkelanjutan

Pada akhirnya, ekonomi Jepang terjebak dalam keadaan stagnasi yang berkelanjutan dan sulit untuk pulih. Hingga hari ini, sisa-sisa dekade kelam itu menghantui Jepang. 

Perekonomian mereka masih stagnan dengan suku bunga yang terlalu rendah bahkan angka negatif, tetapi orang Jepang masih takut untuk memulai bisnis, takut makan terlalu banyak. Anda selalu menghemat uang dan air, harga barang stagnan dan bahkan jatuh.

Tetapi penurunan harga ini tidak membuat orang membeli lebih banyak, mereka menunda berbelanja dengan berpikir bahwa harga mungkin lebih rendah atau tidak di masa depan. Dalam ilmu ekonomi, situasi ini disebut perangkap likuiditas Salma. 

Kebijakan moneter untuk menurunkan suku bunga tidak bisa lagi merangsang konsumsi, sebaliknya, semuanya serba salah. Krisis ini juga berdampak pada kehidupan sosial masyarakat Jepang, dengan meningkatnya pengangguran pada akhir tahun 1990-an yang pada akhirnya menyebabkan para pekerja di Jepang harus bekerja hingga larut malam untuk memenuhi tuntutan pekerjaan.

Di Jepang pun, petugas polisi lainnya disebut sebagai Croce, yaitu kematian akibat kelelahan di tempat kerja. Inovasi di industri Jepang juga semakin sulit karena budaya senioritas yang tinggi, yang membuat anak muda semakin sulit untuk berkreasi. 

Tak heran jika industri Jepang masih tertinggal dari China, Korea atau bahkan Taiwan. Tekanan kehidupan pada akhirnya juga memicu fenomena hikikomori, di mana kaum muda mengasingkan diri dari masyarakat karena berada di bawah tekanan lingkungan yang luar biasa.

Kesimpulan

Itulah Ulasan Ekonomi Jepang Sempat Mandek Selama 30 Tahun – Semua ini akhirnya tidak mengawali tingginya angka bunuh diri di Jepang pada tahun 1990, ada 10.000 kasus bunuh diri dan masih terus meningkat. 

setelah itu Jepang diambil alih oleh Cina sebagai ekonomi terbesar kedua dunia pada tahun 2010 dan diperkirakan jika situasi ini terus berlanjut, Korea Selatan akan menyusul Jepang pada tahun 2002 juga.

Tidak menutup kemungkinan Indonesia akan menyusul dan Jepang bahkan akan kehilangan status negara majunya dan sejauh ini tidak ada yang tahu dari sejarah ini kapan resesi ekonomi di Jepang akan berakhir.